Rabu, 24 September 2014

ABUYA MUHIBUDDIN WALY

Abuya Prof, demikian ia akrab disapa oleh masyarakat aceh, beliau adalah putra Syekhuna Abuya Muhammad Waly al-Khalidi, seorang ulama besar aceh dan juga merupakan guru besar Tarekat Naqsyabandiyah di Tanah Rencong. Ayah Abuya Muhib, yaitu Syekh Muhammad Waly adalah ulama besar yang berasal dari Minangkabau. Dari ayahandanya, yang di Ranah Minang lebih dikenal dengan julukan Syekh Mudo Waly, mengalir darah ulama besar. Paman Syekh Mudo Waly, misalnya, adalah Datuk Pelumat, seorang waliullah yang termasyhur di Minangkabau. Sebagaimana kedudukan pamannya, Syekh Mudo Waly juga mewarisi karisma dan karamahnya. Konon, ia pernah memindahkan anaknya dari Minangkabau ke Aceh dalam sekejap.

Syekh Mudo Waly adalah sahabat Syekh Yasin Al-Fadany (asal Padang) saat mereka berguru kepada Sayid Ali Al-Maliky, kakek Sayid Muhammad bin Alawy bin Ali Al-Makky Al-Maliky Al-Hasany, di Mekah. Karena persahabatan itu pula, beberapa tahun lalu Al-Maliky mengijazahkan seluruh tarekat yang dimilikinya kepada Abuya. Diceritakan, ketika menunaikan ibadah haji, Abuya sowan kepada tokoh Suni yang baru saja wafat pertengahan Ramadan lalu. Ketika itu Sayid Maliky bertanya, siapakah gerangan tamunya tersebut. Abuya lalu menjelaskan, ia adalah putra Syekh Mudo Waly, murid Sayid Ali Al-Maliky. Mendengar itu, Sayid Maliky menangis haru dan memeluk Abuya, kemudian mengijazahkan semua ilmu tharekatnya. Hal yang sama sekali tak diduga sebelumnya oleh Abuya. Pertemuannya dengan Syekh Yasin Al-Fadany juga penuh dengan isak tangis mengharukan. Setelah memeluk Abuya erat-erat, sambil terus memegang tangannya, Syekh Yasin mengijazahkan semua hadis Rasulullah SAW yang dikuasainya. Untuk pertama kalinya, tempo doeloe di masa remaja.
(Ket Photo : diatas adalah gambar Abuya Muhibbuddin dengan Syekh Yasin al-Fadhani)


Abuya Muhibbuddin belajar Tarekat Naqsyabandiyah kepada ayahandanya. Setelah dianggap cukup, belakangan, Syekh Mudo Waly menyerahkan pengangkatan anaknya menjadi mursyid kepada gurunya, Syekh Abdul Ghani Al-Kampary (dari Kampar). Saat itu di pesisir laut Sumatra ada dua mursyid besar yang tinggal di Riau. Mereka termasyhur sebagai min jumlatil awlia (termasuk wali-wali Allah), yaitu Syekh Abdulghani Al-Kampary, yang kebanyakan murid-muridnya terdiri dari para ulama; dan Syekh Abdul Wahhab Rokan (dari Rokan), yang murid-muridnya adalah orang-orang awam. Belakangan Abuya Muhibbuddin juga mendapat ijazah irsyad (sebagai guru mursyid) Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari ulama karismatik K.H. Shohibul Wafa’ Tajul ‘Arifin, alias Abah Anom, pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; dan Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah dari Syekh Muhammad Nadzim Al-Haqqany. Silaturahmi dan selalu belajar kepada para ulama besar memang kebiasaannya yang sudah mendarah daging, bahkan hingga kini. Selalu teringat wasiat ayahandanya, “Jika engkau bertemu dengan orang alim, janganlah pernah mendebat. Cukup dengarkan nasihatnya, bertanya seperlunya, minta doa dan ijazahnya, lalu cium tangannya, jika engkau bertemu dengan seorang ulama yang sombong dan banyak biacara debatlah dia.”

Syekh Muhibbuddin Waly mengambil gelar doktor di Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Kairo, dengan disertasi tentang Pengantar Ilmu Hukum Islam. Lulus 1971, waktu kuliahnya terbilang singkat. Di Al-Azhar, teman satu angkatannya antara lain mantan Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. “Wah, Gus Dur itu sehari-hari kerjaannya cuma membaca bermacam-macam koran,” kenangnya sambil terkekeh, beliau juga pernah mengatakan kepada saya (penulis) : "Mata Gusdur begitu karena beliau dulu sering membaca buku didalam bis, bis itu kan goyang goyang, nah beliau tak menghiraukan yang demikian, beliau seorang yang sangat rajin sekali membaca".

Kini, setelah kesibukannya sebagai anggota DPR RI berakhir 2004 lalu, ia lebih banyak mengisi waktunya dengan mengajar tarekat dan menulis. Ada beberapa buku tentang tasawuf dan pengantar hukum Islam yang sedang ditulisnya, sambil menyempurnakan buku ensiklopedi tarekat yang diberinya judul Capita Selecta Tarekat Shufiyah. selain itu beliau juga mengarang buku hasil dari syarahan kitab karya Ibnu Athaillah al-Askandari, Al-Hikam, yang akhirnya diberi judul oleh abuya "Al-Hikam, Hakekat Hikmah Tauhid dan Tasauf", dan beberapa karangan beliau lainnya.

Waktu senggangnya juga dimanfaatkan untuk “meramu” tiga kitab yang diharapkannya akan menjadi pegangan para murid dan umat Islam pada umumnya, yaitu Tafsir Waly (Tafsir Al-Quran), Fathul Waly (Komentar atas Kitab Jauharatut Tauhid), dan Nahjatun Nadiyah ila Martabatis Shufiyah (sebuah kitab tentang ilmu tasawuf). Dan ternyata ia pun mewarisi darah para pujangga Minang. Hal itu, misalnya, terbukti dari kemahirannya menulis syair. Belum lama ini ia mengijazahkan Syair Tawasul Tarekat yang digubahnya dalam dua bahasa, Arab dan Melayu, kepada murid-murid tarekatnya. Syair yang cukup panjang ini menceritakan proses perjalanan suluknya, diselingi doa tawasul kepada para pendiri beberapa tarekat besar dan guru-guru yang dimuliakannya.

Mengenai perkembangan tarekat dewasa ini, ia menyatakan, “Saat ini ada pergeseran nilai (bertambahnya fungsi tarekat – Red.) di kalangan pengikut tarekat. Jika di masa lampau tarekat diikuti oleh orang yang benar-benar hendak mencapai makrifatullah, kedekatan dengan Allah, sekarang ini tarekat malah sering jadi tempat pelarian bagi orang-orang yang menemukan kebuntuan dalam hidup.” Mengenai hubungan guru dan murid dalam tarekat, ia berpendapat, seorang mursyid adalah pengemudi biduk pengembaraan spiritual muridnya. Oleh karena itu, seorang mursyid seyogianya juga menjadi musahhil, yaitu orang yang membantu kemudahan sang murid dalam melewati beberapa maqamat atau terminal spiritualnya.


Bersama saya (Habibi) banyak sekali hikmah yang saya dapatkan darinya selama saya belajar beberapa ilmu dengan abuya, dari sekian banyak hikmah yang saya dapatkan ketika itu hal yang paling menarik bagi saya adalah ketika abuya pernah menyatakan : "habibie, kemanapun kamu pergi jangan lupa bawa dua hal, pertama. sembahyang, dan yang kedua, bawa terus buku kemanapun kamu pergi. dua hal inilah yang dapat membawa kamu selamat dunia dan akhirat, sembahyang dapat menyelamatkanmu dari akhirat dan buku dapat menyelamatkanmu dari kebodohan dunia". selain itu abuya juga pernah memberikan nasehat kepada saya : "Carilah guru untuk belajar ilmu agama, karena banyak guru banyak doa", Abuya selalu menyuruh saya untuk belajar ilmu Agama dan beliau tidak memaksa akan hal itu, beliau tidak sombong terhadap ilmu yang dimilikinya, bahkan beliau pernah berkata kepada saya seusai selesai shalat subuh : "Habibie, apakah ada yang salah bacaan al-Qur'an saya tadi subuh", saya sangat kaget mendegar pernyataan abuya ini, ketika itu saya hanya menjawab : "Gak ada



Tahun 2004 awal, Abuya jatuh sakit dan ketika itu abuya langsung dibawakan ke malaysia bersama anaknya Amal Muhibbuddin Waly untuk berobat, banyak penyakit yang diderita abuya saat itu, namun yang paling menonjol adalah penyakit gula darah abuya yang sudah sangat parah, selain itu faktor lainnya adalah abuya sangat kelelahan karena beliau sering berdakwah ke beberapa tempat di aceh. Bulan Maret abuya dibawa pulang ke aceh dan setibanya di aceh beliau terlihat sehat namun tiba-tiba kira-kira pukul 10 siang abuya tiba-tiba jatuh sakit lagi, saat itu abuya terlihat lemas sekali akhirnya pihak keluarga saat itu langsung membawa abuya ke rumah sakit Fakinah, B. Aceh. setibanya disana abuya dirawat insentif oleh pihak rumah sakit.


sebelum abuya meniggal kami telah merasa akan adanya firasat bahwa abuya tidak lama lagi akan dipanggil oleh Allah, bahkan sebelum firasat ini muncul beberapa bulan belakang abuya sudah sering membicarakan tentang kematiaanya dan kuburan beliau dimana akan dikebumikan nanti, bahkan ada disuatru hari abuya seperti terlihat aneh, ketika itu abuya sedang istirahat tiba-tiba abuya keluar dari pintu kamarnya dan bertanya : "Siapa yang mengucapkan Assalamualaikum tadi ?", kami terheran-heran ketika itu karena tidak ada tamu didepan rumah dan saat itupun keadaan rumah memang sedang kosong.

(Ket. Photo : Abuya Bersama Ulama Aceh Utara, Abon Samalanga, Pimpinan dayah/pesantren MUDI)


Beberapa hari sebelum abuya meninggal, abuya juga terlihat aneh ketika itu, beliau berbicara sendiri seperti berceramah padahal didepan abuya hanya ada Amal Waly, anak abuya, menurut keterangan Amal, abuya ketika itu berbicara terus dan tak henti henti dan abuya selalu bertanya : "Apakah sudah masuk waktu subuh", padahal waktu subuh masih lama.


Beberapa jam sebelum abuya pergi, abuya juga terlihat aneh saat itu, abuya pernah menyuruh kami untuk menyiapkan tikar dirumah sakit itu karena beliau mengatakan bahwa sebentar lagi akan hadir banyak tamu dan akan baca yasin dan shamadiyah, bahkan abuya juga bertanya kepada kami mengenai dua orang tamu yang memakai baju putih yang lewat didepan kamar rumah sakit abuya. Selain itu abuya selalu menggerakan tangannya untuk berdoa dan shalat. Dan akhirnya pukul 21.30 WIB Rabu Malam (7/3), Abuya Pro.DR. Muhibuddin Waly berpulang kehadirat Allah SWT, dan akhir hayatnya beliau mengucapkan kalimah yang tak bersuara lafadz "LAILAHAILLAH", ketika itu disaksikan langsung oleh seorang Khadam abuya, Tgk. Imam Shalihin, dan Pak Abdullah Shaleh, Dosen IAIN meyakinkan kepada kami bahwa abuya telah pergi kehadirat Allah SWT.


Saya merekam beberapa pesan abuya sebelum meninggal sebagai berikut :


1. Janganlah kita ber-suudzon kepada orang lain (pesan ini saya dapatkan dari perkataan abuya terkait tentang pemfitnahan orang-orang terhadap syekh hisyam kabbani, sebagai ulama tharekat Naqsyabandi di amerika, abuya mengatakan beliau tidak demikian).


2. Seharusnya setiap dayah atau pesantren kedepan haruslah bagi setiap mereka untuk mempelajari kitab Bujairimi (penyataan ini saya dapatkan ketika abuya menasehati Abu alm. Tantawi dan Tgk. Munadi serta beberapa tamu didepan abuya saat itu)


3. Pemerintah dan Ulama tidak boleh dipisahkan (penyataan ini saya dapatkan dari obrolan abuya bersama dengan Abu Adnan Pulo).



Berikut sekilas Biografi Abuya Muhibuddin Waly Nama Penuh : Prof. Dr. H. Teungku Muhibbuddin Waly
Nama Pendek : Muhibbuddin
Asal : Tanjungan, Sumatera Barat
Nama Ayah : Teungku Syeikh H. Muhammad Waly Al-Khalidy Al-Syafi’i Darussalam, Labuhanhaji, Aceh Selatan
Gelaran Tradisi : Teungku dan Abuya
Gelaran Profesional : Doktor (Ph.D) Penghantar Ilmu Fiqh Islam
Tarikh Lahir : 17 Desember 1936, (Rabu)
Tempat Lahir : Simpang haru Padang Kota, Sumatera Barat
Agama : Islam (Sunni)
Status : Kahwin, mempunyai seorang isteri dan tujuh orang Putera ( Taufiq, Hidayat, Wahyu, Rahmat, Amal, Habibie dan Maulana )
Pendidikan : 1944 – 1953 SD s/d SLA di Darussalam Labuhanhaji Tapaktuan, Aceh Selatan 1954 – 1959 Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan 1964 Persamaan Ijazah Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan dengan Magister Syari’at Islam, Spesialisasi Ushul Fiqh Al-Islami (The Roots Theorical Bases of Islamic Law Section), al-Azhar University, Faculty of Islamic Statute & Law, Cairo, Egypt. 1970 Dokter (Ph.D) Syariah Islam, Bidang Ushul Fiqh Al-Islami (Spesialisasi The Roots-The Orical-of Islamic Law Section), Al-Azhar University. 1978-1979 Lemhannas (Lembaga Pertahanan Indonesia) KRA XI, Jakarta. 1979 Penataran Pemuka Agama seluruh Indonesia Angkatan ke-II, Jakarta. 1980 Penataran Calon Penatar P4 (Manggala P4 Nasional ) Istana Bogor. 1984 Penataran Kewaspadaan Nasional (Khusus Manggala P4 Nasional), Jakarta.

Kegiatan Akademik : 1963-1964 Dosen (status Guru Besar) Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Perguruan Tinggi Islam Darussalam Labunhanhaji Aceh Selatan. 1970-1976 Dosen IAIN Falkutas Syariah Syarif Hidayatu ‘lLah, Jakarta. 1971-1974 Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta 1988-1993 Professor Ilmu Hukum Islam, Institut al-Quran (IIQ) Jakarta.

Pengalaman Kerja : 1963-1964 Direktur Perguruan Tinggi Islam Bustanul Muhaqqiqin Darussalam Labuhanhaji Aceh Selatan. 1973-1975 Wakil Dekan Bidang Akedamis, Fakultas Syari’ah IAIN Syarif Hidayatu’lLah, Jakarta. 1979-1982 Pimpinan Majlis Dakwah Islamiyah (MDI) Indonesia, Jakarta 1982-1993 Ketua Umum Rabithahatul Ulamail Muslimin al-Sunniyyin (Ikatan Ulama Islam Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah) Indonesia, Jakarta. 1983-1988 Anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia (DPA- RI) 1992 Pensyarah, Universiti Islam Antarabangsa, Kuala Lumpur, Malaysia

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar