Rentang sejarah yang ditoreh Cut Meutia di Aceh, khususnya Aceh Utara, sangat mengaktualkan halaman sejarah kepahlawanan bangsa.
Jasad
 Cut Meutia terbaring di sebuah kawasan hutan belantara, Gunong/gunung 
Lipeh, antara Kecamatan Matangkuli, Paya Bakong dan Kec Cot Girek, Aceh 
Utara.
Ia gugur di rimba Lhok Reuhat, Alue Drien, atau kawasan 
bantaran sungai (krueng) Peutoe, wilayah eks Kewedanaan Lhoksukon, 25 
Oktober 1910, ditembak oleh pasukan Belanda Marsose di bawah pimpinan 
Mosselman, sebagaimana kita sebut tadi, bersama rekannya Tgk Chik Paya 
Bakong alias Tgk Seupot Mata.
Makam Cut Meutia terpuruk jauh ke 
pedalaman Aceh Utara, dengan keadaan situs itu tidak terurus, penziarah 
malas datang karena jangkauannya yang sulit.
Masyarakat hanya tahu
 keberadaan (kehebatan), keperkasaan dan keberanian Cut Meutia, hanya 
lewat buku-buku sejarah. Antara lain tercantum dalam buku sejarah “Aceh 
Sepanjang Abad”, karangan wartawan legendaris Sumatera Utara (Medan) 
almarhum H Mohammad Said.
Seorang perempuan selevel keberanian Cut
 Meutia ini, setelah Cut Nyak Dhien, di Aceh saja bisa dihitung dengan 
jari. Namun, sangat disayangkan bila generasi setelahnya kurang peduli. 
Buktinya, pasca tahun 1974 (10 tahun setelah SK Presiden RI menobatkan 
Cut Meutia selaku pahlawan nasional), uang di Aceh Utara, sudah sangat 
melimpah dari hasil penemuan sumber gas alam PT Arun, kendati makam 
pahlawan perempuan mulia itu sampai saat ini belum terpugar.
Lupakan Sejarah
“Bangsa
 yang kerdil adalah bangsa yang melupakan jasa para pahlawannya,” tandas
 Waled Jafar, seraya menambahkan kita perlu mendefenisikan kembali 
tentang keberadaan para pahlawan.
Pahlawan bukan saja yang 
dimakamkan di TMP (Taman Makam Pahlawan), tapi pahlawan itu orang-orang 
yang berjuang tanpa pamrih untuk membebaskan, negara dan kaumnya dari 
penjajahan.
“Cut Meutia, Cut Nyak Dhien, Tgk Umar Johan pahlawan 
dan lain-lain yang sudah diakui oleh negara sebagai pahlawan nasional, 
semua para syuhada itu tidak dimakamkan di TMP. Dengan demikian, ziarah 
pahlawan setiap hari besar bersejarah itu, menurut pendapat saya perlu 
digilir ke makam-makam para pahlawan di luar TMP yang perannya tidak 
kecil dalam merebut kemerdekaan RI dari penjajah Belanda dan facisme 
Jepang,” tegas wartawan senior Provinsi Aceh ini.
Berbicara 
pahlawan, khusus di Aceh Utara, menurut Waled Jafar, nanggroe Keureutoe,
 wilayah eks Kewedanaan Lhoksukon, sangat menyimpan khasanah data 
kepahlawanan yang dikenal kawasan heritage kerajaan Islam Samudera Pase.
“Kawasan
 ini tidak hanya menyimpan data sejarah, tapi juga penobatan nama 
terhadap Pulau Sumatera, berasal dari kata Samudera, di mana letaknya 
makam raja Islam terkenal di Asia Tenggara, yaitu Sultan Malikussaleh di
 Kec Samudera (Geudong), Aceh Utara,” terangnya.
“Begitu saratnya 
data sejarah kepahlawanan di kabupaten yang membawahi 27 tingkat 
kecamatan ini, sehingga sebagai putera daerah wajar kalau saya kecewa. 
Pemkab Aceh Utara, acap memperingati hari pahlawan di wilayah Pemko 
Lhokseumawe, kenapa tidak di Lhoksukon, sebagai ibukota Aceh Utara itu 
sendiri,” lanjutnya. (Andi Makkasau/Andalas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar