Senin, 22 September 2014

ULAMA-ULAMA PENYIAR ISLAM AWAL DI ACEH (Abad 16-17M)

ULAMA-ULAMA PENYIAR ISLAM AWAL DI ACEH
. (Abad 16-17M)dahlia


Pendahuluan
Sumber-sumber sejarah tentang kegitan islamisasi di Nusantara ini sangat sedikit, dan secara keseluruhan catatan-catatan sejarah tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi melayu masih simpang siur dan beragam keterangannya. Oleh karena itu, banyak hal-hal yang sukar terpecahkan sehingga sejarah di Nusantara banyak yang bersifat perkiraan. Mencari ketepatan kapan masuknya Islam ke Nusantara sangat sulit. Menentukan masuknya Islam di Nusantara biasanya dikaitkan dengan kegiatan perdagangan antara dunia Arab dengan Asia Timur. Banyak yang memperkirakan bahwa kontak antara Nusantara dengan Islam terjadi sejak abad ke- 7 Masehi. Dalam seminar Sejarah Masuknya Islam yang berlangsung di Medan tahun 1963 yang dikukuhkan lagi dengan seminar Sejarah Islam di Banda Aceh tahun 1978 menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara abad ke-1 Hijriyah langsung dari tanah Arab. Di samping itu ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke- 13 Masehi.
Ada satu persoalan lain yang menjadi perdebatan dan sulit dipastikan adalah persoalan dimana Islam pertama sekali masuk. Ada yang mengatakan di Jaya, dan ada yang mengatakan di Barus, namun demikian ahli sejarah sependapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir Sumatera Utara, yaitu melalui Samudera Pasai (Aceh).
Sebagaimana yang terjadi di daerah-daerah lain di Asia Tenggara, Islam tersebar di Nusantara melalui tiga metode, yaitu pengislaman oleh pedagang Muslim melalui jalur perdagangan yang damai, oleh para da’i yang datang ke Indonesia, dan dengan melalui kekuasaan. Pengislaman yang dilakukan oleh para pedagang terjadi sejak kontak paling awal antara Islam dengan daerah-daerah pesisir pantai Sumatera Utara. Pantai Sumatera Utara merupakan pesinggahan saudagar-saudagar Muslim yang menuju ke asia Timur melalui Selat Malaka. Mereka yang singgah di pesisir Sumatera Utara membentuk masyarakat muslim. Tidak tertutup kemungkinan di antara mereka menjalin hubungan perkawinan dengan penduduk pribumi atau menyebarkan Islam sambil berdagang, sehingga lama kelamaan penduduk setempat memeluk Islam.
Kegiatan pengislaman berikutnya dilakukan oleh ulama-ulama yang turut dalam kapal-kapal dagang. Mereka mempunyai tujuan khusus untuk menyebarkan Islam. Tome Pires, yang pernah mengunjungi Pasai, menceritakan dalam bukunya Suma Oriental bahwa banyak orang Moor tersebut, (istilah dalam bahasa Portugis untuk menyebut orang-orang yang terusir dari bumi Spanyol) dan di Filipina orang-orang Islam disebut bangsa Moro, yang menebar islam dan muncullah (ulama) yang berusaha keras dan mendorong Raja Pasai (Meurah Silu) masuk Islam. Pernyataan masuk Islam seorang raja mempunyai nilai tersendiri bagi proses islamisasi. Tidak lama setelah itu, keislamannya akan diikuti oleh rakyat, dan berikutnya dilakukan penyebaran Islam melalui pemakluman perang terhadap kerajaan-kerajaan yang kafir.
Menurut A. Hasyimy, kerajaan Islam pertama di Sumatera Utara adalah Kerajaan Perlak yang muncul pada abad ke-9 Masehi. Kerajaan Perlak mempunyai pengaruh keislaman bagi daerah-daerah di sekitarnya. Banyak ulama Perlak yang berhasil menyebarkan Islam ke luar Perlak, misalnya sekelompok Da’i Perlak dapat mengislamkan raja Benua. Para ulama Perlak, tokoh-tokoh, pemimpin, dan keluarga raja Perlak banyak yang pindah ke lingga setelah penyerangan Sriwijaya, sehingga mereka membentuk masyarakat Muslim di sana dan dengan demikian maka berdirilah kerajaan Islam Lingga. Selain Perlak kerajaan Islam yang terpenting di Sumatera Utara adalah Samudera . Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa pada tahun 1282 kerajaan kecil Samudera telah mengirim duta-duta dengan nama muslim.
Samudera merupakan daerah kecil yang terletak di muara Sungai Peusangan dan mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Selain itu Samudera menjadi pusat pengembangan pengetahuan agama, dimana teolog-teolog, ahli ilmu kalam, yang datang dari Arab dan Persia, sering melakukan diskusi tentang teologi dan mengkaji kajian Islam di istana sultan. Reputasi Samudera kemudian beralih ke Pasai dan menjadi pusat keilmuan. Upaya islamisasi terus digiatkan sehingga Pasai memiliki pengaruh keislaman yang kuat dan menjadi pusat tamaddun Islam di saat itu. Kerajaan Pasai mengalami kemunduran diakhir tahun 1521 dimana terjadi penyerangan oleh Portugis. Sultan Ali Mughayatsyah sebagai sultan Kerajaan Darussalam pada masa itu membantu Pasai menggempur Portugis dan merampas wilayah Pasai.Kemudian mempersatukan dengan kerajaan Darussalam sehingga memproklamirkan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1524.
Pasca leburnya Samudera Pasai ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam membuat Aceh tampil sebagai kekuatan yang menyeluruh dan terpadu baik di bidang politik, maupun ekonomi, bahkan di bidang pemikiran islam mulai abad 16 sampai abad 18 dan puncak kejayaannya berlangsung pada abad ke- 17. Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan berdatangan ulama-ulama dari Arab, Persia atau India menjalin hubungan demi pengembangan keilmuan di Aceh. Di Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan dakwatul islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan. Semua itu membuat Aceh patut diperhitungkan dalam “peta pemikiran Islam di Nusantara. Mekar dan maraknya pemikiran keagamaan menjadikan Aceh pusat keilmuan Islam di Nusantara, sehingga banyak orang Islam dari berbagai daerah di Nusantara datang ke Aceh untuk belajar kepada ulama-ulama besar Aceh. Murid-murid yang belajar ke Aceh nantinya kembali ke daerah masing-masing, untuk menyebarkan Islam, ilmu bahkan tarekat.. Mereka merupakan anak panah penyebaran Islam dan tradisi keilmuan yang berkembang di Aceh. Selain itu kedudukan Aceh sebagai persinggahan jamaah haji Indonesia telah menjadikan Aceh posisi istimewa bagi penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan dan pengajaran agama Islam. Kehadiran jemaah haji di Aceh sambil menunggu pemberangkatan ke Haramain sering dimanfaatkan untuk belajar ilmu keagamaan.
II. Kiprah ulama-ulama Aceh dan karyanya
Untuk melihat pengaruh Aceh dalam keagamaan dan keilmuan di Aceh, Berikut ini akan dijelaskan secara singkat figur ulama-ulama Penyebar Islam di Aceh dan buah karyanya serta peran mereka dalam pengembangan keilmuan di Nusantara.
1. Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, disamping juga menguasai bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah Wujudiyah. Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karyanya yang monumental. Namun mengenai dimana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dan perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu disebabkan karena belum terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut. Satu-satunya data yang dapat dihubungkan dengan tempat kelahiran Hamzah adalah Fansur, yang merupakan suatu tempat yang terletak antara Sibolga dan Singkel. Dari sebutan namanya Hamzah Fansuri, yang berarti Hamzah dari Fansur, yang menunjukkan bahwa Hamzah memang berasal dari Fansur yang merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh bagian Barat Daya. Hal yang sama dikatakan oleh Francois Valentijn bahwa Hamzah Fansuri seorang penyair Melayu termasyhur yang dilahirkan di Fansur (Barus) sehingga negeri tersebut terkenal dikarenakan syair-syair Melayu gubahannya. Namun menurut Syech Muhammad Naguib Al-Attas berpendapat bahwa Hamzah lahir di Syahrawi, Ayuthia Ibukota Siam lama hal ini didasarkan pada syairnya :
“Hamzah asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahrawi
Beroleh khilafah ilmu yang ‘adil
Daripada Abdul Qadir Sayid Jailani”
Dalam hal ini pada bait ke dua mendapat wujud di tanah Syahrawi dipahami sebagai Hamzah lahir di sana. Namun pendapat L.F. Brekel, Drewes mengatakan bahwa wujud dalam bait kedua itu diartikan bahwa Hamzah hendak mengatakan di syahrawilah dia bertemu dengan Tuhan. Artinya hamzah memulai mempelajari tarekat Wujudiayah. Kontroversi mengenai tempat kelahiran Hamzah seorang ulama besar ini memang tidak akan pernah selesai, karena data yang ada masih dipertentangkan dan belum ada yang akurat, hanya berdasarkan perkiraan-perkiraan yang dikait-kaitkan dengan karya-karyanya. Hamzah fansuri diperkirakan hidup dan berkiprah sebelum dan selama pemerintahan Sultan Alaiddin Ali Ri’ayatsyah Saidil Mukammil (1588-1604). Kraemer berpendapat bahwa Hamzah hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat syah Almukammil sampai masa awal Iskandar Muda, atau paling tidak hingga tahun 1620 M. .
Kalau kita melihat dari keberadaannya sebagai penulis produktif yang tercermin dari karya-karyanya, tentu Hamzah telah berkiprah sejak pemerintahan Sultan Alauddin bin Sultan Ahmadsyah Perak hingga pada Sultan Ali Ri’ayatsyah Al Mukammil. Hal ini dapat dilihat dalam sajaknya yang menggambarkan hubungan antara Hamzah dengan sultan, dalam syair berikut mengatakan:
“Hamba mengikat shair ini, Di bawah hadrat raja yang wali, Pada bait yang lain Hamzah menulis : Syah Alam raja yang adil,
Raja Qutub sempurna Kamil, Wali Allah sempurna wasil, Raja ‘arif lagi mukammil.
Bait-bait ini secara eksplisit memberikan pesan bahwa hubungan antara Hamzah dengan sultan adalah harmonis, bahkan kata Wali Allah dalam syairnya menampakkan bahwa pengakuan dan penghargaan Hamzah kepada sultan sebagai seorang penguasa.tertinggi. Bahkan Sultan Alaiddin Ali Riayatsyah diberi sebutan dengan wali Allah mengandung implikasi sultan memiliki “otoritas sufistik keagamaan”, yang menyiratkan bahwa wali dalam Islam bermakna seorang yang saleh yang dianugerahi kekuatan dan kelebihan yang berfungsi sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Sedangkan sebutan sufistik yang tertinggi sebagai seorang yang “sempurna atau kamil” dan “almukammil” yang berarti seorang yang sempurna atau “insan kamil.” (Amirul Hadi, 2010, 74). Hubungan yang harmonis antara Hamzah Fansuri dapat diceritakan juga oleh John Davis ketika mengunjungi Aceh tahun 1599 bahwa ada seorang pemuka agama yang sangat dihormati oleh rakyat dan penguasa beliau sebagai Syaikh al-Islam, pada masa Sultan Al Mukammil. ( Jon Davis, 1880, 151).
Paham dan pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri yang dibawanya bersama seorang muridnya bernama Syamsuddin Al-Sumatrani adalah paham wujudiyah. Mereka berdua telah memainkan peranan penting dalam membentuk pemikiran dan praktek keagamaan kaum Muslim Nusantara pada paruh pertama abad ke- 17 M. Ajaran-ajaran mereka sangat dipengaruhi oleh karangan-karangan Ibnu Arabi dan Al-Jilli. Misalnya bahwa alam raya merupakan serangkaian emanasi neo-platonisme, dan menganggap setiap emanasi adalah aspek Tuhan. Tuhan sebagai wujud tunggal yang tiada bandingan dan sekutu menampakkan sifat-sifat kreatifNya melalui ciptaanNya. Pendapatnya ini merujuk pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 151 yang artinya “ Kemanapun kamu memandang akan tampak wajah Allah”. Paham ini menyebabkan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin di tuduh sesat dan menyimpang. Pemikiran mareka akhirnya ditentang oleh ulama-ulama besar Aceh yang datang belakangan, yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan Abdul Rauf al-Singkili.
Adapun karya-karya Hamzah Fansuri antara lain:
1).Syarab al-‘Asyiqin ,
2). Asrar al-‘Arifin,
3).Al Muntahi.
Syarab al-‘Asyiqi merupakan risalah tasawuf pertama dalam bahasa melayu yang merupakan ringkasan ajaran faham wujudiyah sebagai pengantar memahami ilmu suluk. Di dalamnya diuraikan cara-cara mencapai makrifat dan tahap-tahap ilmu suluk yang terdiri dari syariat, tarekat, hakekat dan makrifat. Asrar al-‘Arifin kitab hamzah yang menguraikan pandangan falsafahnya tentang metafisika dan teologi sufi, dengan cara menafsirkan utaian syair-syair karangannya menggunakan metode hermeneutika sufi (ta’wil). Sedangkan kitab Muntahi merupakan risalah tasawufnya yang paling ringkas namun padat, yang menguraikan pandangan Hamzah Fansuri mengenai ucapan-ucapan sytahat (teofani) sufi yang sering menimbulkan perdebatan di kalangan ulama. Misalnya ucapan dari Mansur al-Hallaj “An al- Haqq” (Akulah kebenaran kreatif). Akhir perjalan kiprah Hamzah Fansuri kembali ke Singkil mendirikan dayah atau pesantren dan meninggal di sana. Makamnya terdapat di Desa Oboh, Kecamatan Rangkang, Kabupaten Aceh Singkil. Setelah pemekaran wilayah Desa ini masuk wilayah Kota Subulussalam. Kini makamnya dirawat dan dijaga dengan baik, namun sangat disayangkan kini telah terjadi vandalism (kerusakan) berupa pengecatan pada nisan makam, sehingga menyebabkan hilang nilai historis dan keaslian makam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar