Sering terdengar bahwa tasawuf dan politik
 adalah dua dunia yang  berseberangan. Asumsi ini semakin diperkuat 
dengan banyaknya pengikut  tasawuf / tarekat yang kadang lebih memilih 
hidup uzlah (mengasingkan  diri) dari problem-problem sosial disekelilingnya.
Pada dasarnya,  kenyataan ini
 tidak berangkat dari pemahaman tasawuf yang benar menurut  Islam. 
Rasulullah saw sebagai panutan utama dalam beragama ternyata juga  
seorang seorang negarawan. Rasulullah tidak hanya mengurus agama, tapi  
juga mengatur Negara. 
Tengku Haji Muhammad
 Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang  tokoh ulama yang mampu 
mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan  baik. Selain dikenal 
sebagai ulama sufi perkembangan Tarekat  al-Haddadiyah di Aceh, ia juga 
diakui berperan aktif dalam sejumlah  peristiwa politik ulama ini di 
Aceh sepanjang hidupnya. 
Tulisan singkat berikut ini akan mengulas karyanya dalam bidang tasawwuf sekaligus kiprah di dunia politik.
Biografi Singkat
Ulama  yang kerap dipanggil dengan sebutan Abu Krueng Kalee ini, lahir 
pada  tanggal 13 Rajjab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di 
desa  Meunasah Letembu, Langgoe Kabupaten Pidie. Ketika itu ayahnya yang
  bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng  
Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan  
Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.
Setelah situasi  perang relatif mereda, Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang  tuanya ke kampong
 halaman mereka di Krueng Kalee. Di sanalah perjalanan  keilmuannya 
dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah  yang dikenal 
dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga  belajar agama di
 Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang  menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri. 
Ketika umurnya  beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke negeri Yan Keudah,  Malaysia,
 yakni di Pesantren Tgk. Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang  terakhir 
ini merupakan ulama Aceh yang turut mengungsi ke negeri Jiran akibat  
situasi perang. 
Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya  yang bernama Tgk. Abdul Wahab
 berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan  pendidikan di Mesjid al-Haram, 
namun tidak lama setiba mereka di sana,  adiknya tersebut meninggal 
dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat  Tgk. Hasan patah semangat, ia
 tetap sabar dan teguh melanjutkan  pendidikannya dari para ulama besar 
Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7  tahun.
Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari  seorang 
pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah.  Hal 
mana kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan digelar dengan  sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyie Al-Falaky.”
Sekembalinya dari  Mekkah, Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke 
Aceh tapi terlebih  dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad 
Ie Leubeu di Yan  Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat 
mengajar beberapa tahun  dan kemudian dijodhkan oleh gurunya dengan 
seorang gadis yatim keturunan  Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein. 
Atas panggilan pamannya Tgk.  Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah 
Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk  mengabdi dan mengajar di Dayah 
tersebut. Tidak lama
 berselang, Abu  Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di 
Meunasah Blang  yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan 
Desa Krueng  Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar. 
Di tempat terakhir ini, Abu Krueng  Kalee mulai menbgabdikan seluruh 
ilmunya dan berhasil mencetak kader  ulama-ulama baru berpengaruh dan 
berpencar di seluruh Aceh semisal Tgk.  H. Mahmud Blang Bladeh, Tgk. H. 
Abdul Rasyid Samlako Alue Ie Puteh, Tgk.  H. Sulaiman Lhok Sukon, Tgk. 
H. Yusuf Kruet Lintang, Tgk. Haji Adnan  Bakongan, Tgk. H. Sayid 
Sulaiman (mantan Imam Mesjid Raya Baiturrahman),  Tgk. H. Idris Lamreng (ayahanda Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Matan  Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh),
 dan lain-lainnya. Sebagian dari  mereka kemudian membuka 
lembaga-lembaga pendiidkan agama/ dayah baru di  daerah masing-masing. 
Sutau hal yang patut disayangkan dari para  ulama tradisional Aceh 
dahulu adalah minimnya karya tulis keilmuan.  Padahal mereka sangat “kaya”
 dalam khazanah ilmu agama dan pengalaman  rohani. Hal ini mungkin 
dipengaruhi oleh sistem pembelajaran di kalanagan Dayah ketika itu yang 
sangat terfokus pada metode “Sima’i” dan  “Talaqqiy” yaitu metode 
belajar dengan mendengar memahami dan  menghafal. Metode yang sama juga 
digunakan ketika mengajarkan ilmu  pengetahuan kepada generasi 
berikutnya. Sementara penyampaiannya kembali  ilmu dalam bentuk narasi 
atau tulisan ilmiah meskipun dapat kita  temukan, namun tidak sebanding 
dengan khazanah keilmuan yang mereka  miliki. 
Fenomena ini juga terjadi pada kisah
 hidup Tgk. H. Hasan Krueng  Kalee. Kemahiran Abu Krueng Kalee dalam 
Ilmu Falak (Astronomi) sangat  disayangkan tidak membuahkan sebuah karya
 ilmiah yang dapat dijadikan  rujukan hari ini. Padahal ilmu yang 
dimilikinya tergolong ilmu yang  langka di Aceh dan Nusantara ketika 
itu. Walaupun demikian semasa  hidupnya Abu Krueng Kalee selalu 
menerbitkan hasil Hisab tentang awal  bulan –bulan Arab, Khususnya 
Ramadhan, Syawal dan Haji yang sangat  bermanfaat bagi masyarakat ketika
 itu. 
Hal senada juga diutaerakan  oleh putranya, Tgk. H. Syech Marhaban Hasan
 Krueng Kalee, ia sangat  menyayangkan minimnya karya tulis dari 
ayahandanya tersebut. Padahal  ide, pemikiran, fatwa-fatwa dan hasil 
penelitian Abu Krueng Kalee dalam  Hisab dan Falak sangat banyak, dan 
tentu akan sangat berguna jika  dibukukan ketika itu. 
Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara  khusus sangat besar artinya 
bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan  agama di Aceh pada masa 
berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang  politik telah memberi 
arti vital, dukungan dan semangat bagi  kelangsungan Republik Indonesia yang ketika itu baru seumur jagung.
Rumah
 kediaman Tgk, H. Hasan Krueng Kalee yang terletak di Dusun Tenun Adat 
Gampong Siem Kecamatan Darussalam Aceh Besar. Photo rekaman cucunya Tgk.
 H. Waisul Qarani Aly, 29 Juni 2009.
Pada  tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00
 dini  hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir.  
Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak  
Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari  
ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang  
putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat  
menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
  
Karyanya dalam Bidang Tasawuf
Selain aliran dalam berbagai  disiplin ilmu agama Islam, Abu Krueng 
Kalee juga terkenal dengan Tasawuf  dan kesufiannya. Abu Krueng Kalee 
adalah orang  pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan Tarekat 
Al-Hadadiyah di Seraambi  Mekkah, sebagaimana dijelaskan dalam sanad 
Tarekat.
Dalam upaya  menyebarkan tarekat tersebut, Tgk. H. Hasan Krueng Kalee 
menulis sebuah  buku panduan dalam tarekat Al-Haddadiyah yang diberi 
nama: “Risalah  Latifah fi Adab Adz-Zikr wa al-Tahlil wa Kaifiyatu 
Tilawah  al-Samadhiyah ‘ala Tharekat Quthb al-Irsyad al Habib Abdullah  
al-Haddad.”
Kitab “Risalah” setebal 32 halaman tersebut ditulis dalam  dua bahasa; 
Arab; dan Melayu Jawi. Kitab ini terbagi dalam empat  bagian. Bagain 
pertama menerangkan adab berzikir dan bertahlil. Bagian  kedua 
menerangkan cara membaca shamadiyah menurut tarekat al-Haddadiyah.  
Bagian ketiga tentang silsilah sanad tarekat. Dan bagian ke empat  
menerangkan adab dan metode membaca kitab dalail khairat sebagaimana  
yang diijazahkan oleh kedua gurunya, Syech Abdullah Ismail dan Syech  
Hasan Zamzami. 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar