Rabu, 24 September 2014

SEJARAH ABUYA HASAN KRUGKALE

Sering terdengar bahwa tasawuf dan politik adalah dua dunia yang berseberangan. Asumsi ini semakin diperkuat dengan banyaknya pengikut tasawuf / tarekat yang kadang lebih memilih hidup uzlah (mengasingkan diri) dari problem-problem sosial disekelilingnya.

Pada dasarnya, kenyataan ini tidak berangkat dari pemahaman tasawuf yang benar menurut Islam. Rasulullah saw sebagai panutan utama dalam beragama ternyata juga seorang seorang negarawan. Rasulullah tidak hanya mengurus agama, tapi juga mengatur Negara.

Tengku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.

Tulisan singkat berikut ini akan mengulas karyanya dalam bidang tasawwuf sekaligus kiprah di dunia politik.

Biografi Singkat
Ulama  yang kerap dipanggil dengan sebutan Abu Krueng Kalee ini, lahir pada tanggal 13 Rajjab 1303 H, bertepatan dengan 18 April 1886 H. di desa Meunasah Letembu, Langgoe Kabupaten Pidie. Ketika itu ayahnya yang bernama Tgk. Muhammad Hanafiyah yang merupakan pimpinan dayah Krueng Kalee sedang dalam pengungsian di daerah tersebut akibat perang dengan Belanda yang berkecamuk di kawaasan Aceh Besar.

Setelah situasi perang relatif mereda, Muhammad Hasan kecil dibawa kembali oleh orang tuanya ke kampong halaman mereka di Krueng Kalee. Di sanalah perjalanan keilmuannya dimulai di bawah asuhan ayahanda Tgk. Muhammad Hanafiyah yang dikenal dengan panggilan Teungku Haji Muda. Selain itu ia juga belajar agama di Dayah Tgk. Chik di Keubok pada Tgk. Musannif yang menjadi guru pertama setelah ayahnya sendiri.

Ketika umurnya beranjak dewasa, ia melanjutkan pendidikan ke negeri Yan Keudah, Malaysia, yakni di Pesantren Tgk. Chik Muhammad Irsyad Ie Leubeu. Yang terakhir ini merupakan ulama Aceh yang turut mengungsi ke negeri Jiran akibat situasi perang.

Dari Yan, Tgk. M. Hasan bersama adik kandungnya yang bernama Tgk. Abdul Wahab berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan pendidikan di Mesjid al-Haram, namun tidak lama setiba mereka di sana, adiknya tersebut meninggal dunia karena sakit. Hal ini tidak membuat Tgk. Hasan patah semangat, ia tetap sabar dan teguh melanjutkan pendidikannya dari para ulama besar Mesjid al-Haram hingga lebih kurang 7 tahun.

Selain belajar ilmu agama, ia juga belajar ilmu falak dari seorang pensiunan jenderal kejaaan Turki Ustmani yang menetap di Mekkah. Hal mana kemudian membuatnya alim dalam ilmu Falak dan digelar dengan sebutan “Tgk. Muhammad Hasan Al-Asyie Al-Falaky.”

Sekembalinya dari Mekkah, Abu Krueng Kalee tidak langsung pulang ke Aceh tapi terlebih dahulu singgah di Pesantren gurunya Tgk. M. Irsyad Ie Leubeu di Yan Kedah. Di pesantren ini Abu Krueng Kalee sempat mengajar beberapa tahun dan kemudian dijodhkan oleh gurunya dengan seorang gadis yatim keturunan Aceh bernama Nyak Safiah binti Husein.

Atas panggilan pamannya Tgk. Muhamad Sa’id- Pimpinan Dayah Meunasah Baro- Tgk. M. Hasan pulang untuk mengabdi dan mengajar di Dayah tersebut. Tidak lama berselang, Abu Krueng Kalee membuka lembaga pendidikannya sendiri di Meunasah Blang yang hari ini terletak di Desa Siem bersebelahan dengan Desa Krueng Kalee, Kec. Darussalam, Aceh Besar.

Di tempat terakhir ini, Abu Krueng Kalee mulai menbgabdikan seluruh ilmunya dan berhasil mencetak kader ulama-ulama baru berpengaruh dan berpencar di seluruh Aceh semisal Tgk. H. Mahmud Blang Bladeh, Tgk. H. Abdul Rasyid Samlako Alue Ie Puteh, Tgk. H. Sulaiman Lhok Sukon, Tgk. H. Yusuf Kruet Lintang, Tgk. Haji Adnan Bakongan, Tgk. H. Sayid Sulaiman (mantan Imam Mesjid Raya Baiturrahman), Tgk. H. Idris Lamreng (ayahanda Alm. Prof. Dr. Safwan Idris, Matan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh), dan lain-lainnya. Sebagian dari mereka kemudian membuka lembaga-lembaga pendiidkan agama/ dayah baru di daerah masing-masing.

Sutau hal yang patut disayangkan dari para ulama tradisional Aceh dahulu adalah minimnya karya tulis keilmuan. Padahal mereka sangat “kaya” dalam khazanah ilmu agama dan pengalaman rohani. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh sistem pembelajaran di kalanagan Dayah ketika itu yang sangat terfokus pada metode “Sima’i” dan “Talaqqiy” yaitu metode belajar dengan mendengar memahami dan menghafal. Metode yang sama juga digunakan ketika mengajarkan ilmu pengetahuan kepada generasi berikutnya. Sementara penyampaiannya kembali ilmu dalam bentuk narasi atau tulisan ilmiah meskipun dapat kita temukan, namun tidak sebanding dengan khazanah keilmuan yang mereka miliki.

Fenomena ini juga terjadi pada kisah hidup Tgk. H. Hasan Krueng Kalee. Kemahiran Abu Krueng Kalee dalam Ilmu Falak (Astronomi) sangat disayangkan tidak membuahkan sebuah karya ilmiah yang dapat dijadikan rujukan hari ini. Padahal ilmu yang dimilikinya tergolong ilmu yang langka di Aceh dan Nusantara ketika itu. Walaupun demikian semasa hidupnya Abu Krueng Kalee selalu menerbitkan hasil Hisab tentang awal bulan –bulan Arab, Khususnya Ramadhan, Syawal dan Haji yang sangat bermanfaat bagi masyarakat ketika itu.

Hal senada juga diutaerakan oleh putranya, Tgk. H. Syech Marhaban Hasan Krueng Kalee, ia sangat menyayangkan minimnya karya tulis dari ayahandanya tersebut. Padahal ide, pemikiran, fatwa-fatwa dan hasil penelitian Abu Krueng Kalee dalam Hisab dan Falak sangat banyak, dan tentu akan sangat berguna jika dibukukan ketika itu.

Peran Tgk. H. M. Hasan Krueng Kalee secara khusus sangat besar artinya bagi perekembanagn dan kemajuan pendidikan agama di Aceh pada masa berikutnya. Demikian pula kiprahnya dalam bidang politik telah memberi arti vital, dukungan dan semangat bagi kelangsungan Republik Indonesia yang ketika itu baru seumur jagung.

Rumah kediaman Tgk, H. Hasan Krueng Kalee yang terletak di Dusun Tenun Adat Gampong Siem Kecamatan Darussalam Aceh Besar. Photo rekaman cucunya Tgk. H. Waisul Qarani Aly, 29 Juni 2009.


Pada tanggal 19 Januari 1973, tepatnya malam Jum’at sekitar pukul 03.00 dini hari, Abu Krueng Kalee menghembuskan nafasnya yang terakhir. Meninggalkan tiga orang istri; Tgk. Hj. Nyak Safiah di Siem; Tgk. Nyak Aisyah di Krueng Kalee; dan Tgk. Hj. Nyak Awan di Lamseunong. Dari ketiga istri tersebut Abu Krueng Kalee Meninggalkan Tujuh belas orang putra dan putri. Salah seorangnya yaitu Tgk. H. Syech Marhaban sempat menjabat Mentri Muda Pertanian pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Karyanya dalam Bidang Tasawuf
Selain aliran dalam berbagai disiplin ilmu agama Islam, Abu Krueng Kalee juga terkenal dengan Tasawuf dan kesufiannya. Abu Krueng Kalee adalah orang  pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan Tarekat Al-Hadadiyah di Seraambi Mekkah, sebagaimana dijelaskan dalam sanad Tarekat.

Dalam upaya menyebarkan tarekat tersebut, Tgk. H. Hasan Krueng Kalee menulis sebuah buku panduan dalam tarekat Al-Haddadiyah yang diberi nama: “Risalah Latifah fi Adab Adz-Zikr wa al-Tahlil wa Kaifiyatu Tilawah al-Samadhiyah ‘ala Tharekat Quthb al-Irsyad al Habib Abdullah al-Haddad.”

Kitab “Risalah” setebal 32 halaman tersebut ditulis dalam dua bahasa; Arab; dan Melayu Jawi. Kitab ini terbagi dalam empat bagian. Bagain pertama menerangkan adab berzikir dan bertahlil. Bagian kedua menerangkan cara membaca shamadiyah menurut tarekat al-Haddadiyah. Bagian ketiga tentang silsilah sanad tarekat. Dan bagian ke empat menerangkan adab dan metode membaca kitab dalail khairat sebagaimana yang diijazahkan oleh kedua gurunya, Syech Abdullah Ismail dan Syech Hasan Zamzami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar